Jumat, 26 November 2010

Menjaring Iman

0 commentfootprint
Kamu pernah punya perasaan ingin mati?
Apakah mati itu memutuskan semua permasalahan yang kita hadapi di dunia?
Dan berpikir bahwa setelah mati kita akan lahir seperti bayi yang tak punya masalah?
Jika iya seperti itu mati adalah cita-cita yang ingin aku gapai.
Bukaaan, bukan. ternyata permasalahannya tak semudah itu kawan. Kata ustadz, ada dunia setelah dunia ini. terkadang kalo boleh jujur, agama pernah membuat aku skeptis.
Terlalu penuh selidik untuk mengetahui sesuatu di luar nalar manusia.
tetapi segumpal daging yang selalu diagung-agungkan manusia itu pun ternyata punya keterbatasan.
otak ini tidak mungkin tercipta dengan sendirinya, pasti ada Dzat yang mempunyai hak otoritas penuh yang mengatur sedemikian rupa, memberikan mikrochip di dalamnya.
bagaimana rasanya jika mikrochip itu diambil oleh Dzat-Yang-Maha-Segala-Galanya itu?
kita adalah robot, dimana sang profesor yang berkuasa
kita adalah aktor, dimana sang sutradara yang berkehendak
kita adalah patung bergerak, dimana sang pemahat ajaib berkreasi
ternyata, kita hidup dalam sebuah perumpamaan.
segala sesuatunya itu adalah konsep.
konsep dasar yang mengacu pada ketauhid.an tuhan, keesaan tuhan.
ajaibnya manusia dibekali cipta, rasa dan karsa. disinilah 'rasa' itu berperan penting.
ada cinta, senang, benci, percaya, ingin tahu, sedih , malu, gembira, dan +1000000 lainnya.
kamu pernah mlihat bentuknya 'rasa"?
aku pikir 'rasa'itu adalah konklusi dari kumulatif reaksi2 kimia di dalam tubuh yang tertangkap oleh panca indra. Dalam hal ini hubungannya adalah semua alat panca indra yang kita punya menangkap kejadian, peristiwa, keadaan, kondisi alam, hubungan timbal balik dan mengakumulasinya
dalam otak yang akan melahirkan sebuah 'konsep".
timbullah suatu rasa ygn dinamakan "percaya" terhadap konsep.
sebuah negara mempunyai ideologi sebagai suatu pegangan. tapi apakah idelogi itu berbentuk?
bagaimana jika suatu negara tak berideologi atau kehilangan ideologinya?
itulah gambaran seberapa pentingnya seseorang harus mempunyai pedoman.
sesuatu yang diyakini benar dan perasaan dimana kita membutuhkan sesuatu yang trasendental yang hanya kita sendiri yang mengetahui dan meyakininya.
aku lebih suka menyebutnya sebagai "IMAN"....

Selasa, 23 November 2010

Another Galau

0 commentfootprint
Aku berharap suatu kali ada pangeran berkuda putih menjemputku dan membawaku ke istananya yang megah di tengah kota. Dia mengajakku berdansa, memukaukan segenap mata yang memandang.
Itu duuuuluuuuuu ketika aku belum terperosok pada lubang realitas yang menjerumuskan imajinasi liarku. Kini tak ada imajinasi yang mengoyak, mengejar sang empunya untuk menuntaskan cerita yang kadang tersendat. Entah kenapa di setiap cerita imajinasiku aku selalu memosisikan diriku sebagai upik abu yang malang. Belakangan baru kusadari secara tak sengaja bahwa hidup jika kau ingin menang ada yang harus diperjuangkan dan itu tidak mudah. Seperti halnya upik abu yang malang yang pada akhir cerita akan mendapatkan 'happily ever afternya'.
Kembali ke lubang realita, kini hanya ada aku, lubang hidungku yang masih berfungsi, kaki yang masih berjalan ke kampus, otakku yang memikirkan segudang tuntutan perkuliahan dan masih banyak lagi tanpa imajinasi yang berkeliaran. Kenapa doraemon tak nyata? kenapa tidak ada hewan bespesies pokemon? pahlawan bertopeng? power puff girl? spiderman?
kemana mereka semua?
bisakah para imajiner itu membuat makhluk2 ciptaanya itu benar2 nyata?

Aku ingin bertanya tentang hal konsepsi tuhan. Tapi menurut agamaku itu hal yang sangat-sangat-tabu-mempertanyakan-tentang-keberadaan-tuhan. Aku hanya ingin bercakap, bagaimana Dia menciptakan dunia 'mainanNya'. lihat sekelilingmu,how amazing. Tapi bisakah manusia menciptakan yang sama persis sepermilinya apa yang tuhan ciptakan? nonsense! Mungkin aku bertanya dan menjawab pertanyaanku sendiri mengapa para tokoh imajinasi itu tak bisa terealisasi, ya karena manusia itu bukan tuhan.

hal ini kembali menggelitikku, bagaimana para atheis itu bisa mendoktrinkan dirinya bahwa tuhan itu tak ada?





Aku sedang galau. Jangan bertanya kenapa. Karena aku pun tak tahu. Dan sangat berterimakasih untuk tidak bertanya.

Kamis, 11 November 2010

Berjalan pada Titian Detik

1 commentfootprint
Aku melangkah, menantang matahari yang bersinar tak terlalu terik. aku berjalan beralaskan jerami yang kususun dengan bulir keringatku. kutenteng tas plastik kresekku yang aku anyam dari berbagai bungkus mie instan, kopi, sereal, atau apalah itu. Sebentar, perlunya ku mengaca. kurapihkan baju percaku, yang aku kumpulkan dari limbah penjahit tetanggaku. Kujahit dengan penuh deru debu semangat. Rokku pun dari gordyn tetangga yang diberikan kepadaku,yang aku sulap menjadi dress berlipat yang manis.
sudah. aku cukup keren.
Aku berjalan gagah, bangga.
Tidakkah kau lihat para designer yang berjalan dengan para modelnya ketika hasil rancangannya dipamerkan kepada ribuan pasang mata?
Ya begitulah perasaanku.
Aku bangga karena apa yang kukenakan made in tangan ku sendiri.
Aku tahu aku hanya sekedar jamban berjalan bagi mereka yang berotak mikroba parasit.
Bilang saja aku out of date, bilang saja aku makhluk prasejarah, manusia goa atau manusia batu sekalipun.
peduli apa mereka?
Cuih, kuludahkan segumpal umpatan yang ingin kuteriakkan , kucacikan pada wajah mereka yang tersumpal plastik silikon.
Lega, lebih baik simpan saja energiku ketimbang mempedulikan apakah pipi mereka itu disumpal, atau alis mereka dicoreng moreng arang.
Sekarang, peduli apa aku?
hahaha, puas ku tertawa.
aku berjalan menapaki titian detik yang tuhan anugerahkan kepadaku, kadang aku melompat, ada lubang menganga di sana, seperti luka yang sewaktu
pernah tertato 'di sini' menggerogoti jalan hatiku. ingin sekali kututup, tapi entah harus kugunakan material apa di dunia ini yang yang sanggup menambalnya
, kadang aku berjalan melambat, memperhatikan kekontrasan tangan yang menengadah dan tangan yang mengulur terkadang tangan itu sombong melempar.
kenapa tuhan tak ciptakan banyak tangan2 yang mengulur memberi, tapi kalo begitu tangan siapa yang akan menengadah? hahaha aku menertawai kebodohanku sendiri.
sewaktu waktu aku berhenti, menatap langit kurengkuh matahari, tersenyum lebar. melihat awan berarak membentuk segurat wajah halus yang membuatku tenang
bahwa kan ada orang di sampingku yang kan mengisi ruang kosong diantara sela sela jari-jariku. aku menghembus lega, mengucap syukur.
aku terus menapaki detik, aku berdecit tiba2, ku melihat segerombolan gagak pongah hitam kelam yang memperebutkan sekerat roti.
aku hanya heran mereka memakai jas2 mahal untuk menutupi koreng-koreng busuk yang tak aus di bulu2nya. miris, aku menelan ludah.
ku lanjutkan perjalanan, kini ku melewati sederetan toko dengan etalasenya yang aku yakin 1000% memikat hati para kaum hedonishoppaholic.
lihat saja jumbo SALE. Apa yang mereka pikirkan sewaktu mereka membeli barang2 tersebut? tergiur hargakah? atau memang kebutuhan?
Yang bahkan kadang sesampainya di rumah barang tersebut hanya akan menjadi seonggok sesarang debu. Berjajar mereka memamerkan lutut yang seputih susu, bergaya aristokrat, bak putri atau pangeran . Kulirik bayanganku sekilas di kaca etalase. Memang upik abu. Aku kaum marjinal.
Ku pejamkan mata. Sejenak kusadari aku hidup di dunia yang salah. Kemana dunia yang harus kulangkahi? perlukah ku menyayat urat nadiku terlebih dahulu untuk merasakan dunia yang lain?
dunia di pojok pelangi itu.
kau lihat? dengar? rasakan?
oh tidak?
Beruntungnya aku, sehabis hujan kulihat lengkungan berjuta spektrum warna berhamburan menyembul di sudut mataku, ku lihat di pojok pelangi itu . Ada semacam puri atau istana seperti yang pernah didongengkan oleh tukang dongeng di kampungku sewaktu kecil.
disanakah seharusnya duniaku?
bawa aku pergi, biarpun kan kupertaruhkan seurat nadiku untuk kupersembahkan untukMu.
 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template