Selasa, 25 Juni 2013

"Aku.."

0 commentfootprint
Saya paling suka menghabiskan waktu dengan berjalan sendirian di gramedia, toko buku atau perpustakaan. Boleh dibilang nerd, sih. Hanya saja, berpikir lebih baik seorang diri ketimbang mengajak orang lain yang tidak terlibat dalam urusan tersebut, dan sangat tidak enak sekali melihat wajahnya seperti berkata, "ayo kapan pulang? lapar sekali" atau "ah lama sekali sih, membosankan". Karena memang tidak semua orang sih mau diajak berlama-lama dalam tumpukan buku, apalagi berdiri. Ah, saya butuh partner in crime dalam hal ini. Mostly sih si Lerry. Berharap saja menghabiskan waktu banyak dengannya tak mengubahku menjadi disorientasi gender. 
Beberapa waktu ini saya sedang gandrung dengan membaca, membangkitkan hobi lama sebenarnya. Karena mungkin sekarang kesibukan akademis sudah mulai sedikit berkurang, tinggal tugas akhir dan ujian. Mengulang kembali membaca buku/novel lama itu seperti membongkar harta karun. Kita kembali menemukan sesuatu yang menakjubkan yang sudah lama terpendam dalam tumpukan-tumpukan memori.
Kemaren sempet jalan-jalan sendirian ke gramedia. Menemukan novel berjudul "ibuk," oleh Iwan Setyawan. Ah, saya memang terlalu attract terhadap sesuatu yang berhubungan dengan sosok seorang ibu. 
Membaca sedikit halaman depan, membuat saya semakin tertarik, sayang nggak bisa langsung dibeli.
Ada kata-kata bagian bab akhir yang paling saya suka.

"Aku

Menulis membebaskanku. Membesarkanku. Memberanikanku.
Aku menulis untuk membaca kehidupan. Aku menulis untuk berkaca. Aku menulis untuk melepaskan air mata. Aku menulis untuk menjadikanku manusia. Aku menulis untuk membunuh malam. Aku menulis untuk memaknai hidup. Aku menulis untuk bersyukur. Aku menulis karena menulis menyembuhkan. Aku menulis untuk merapikan masa lalu. Aku menulis karena kata-kata bisa menguatkan. Aku menulis untuk menggali hati nurani.
Menulis adalah meditasi.
Aku menulis untuk orang-orang yang telah menyentuh hatiku, kehangatan keluarga yang telah menghangatkan hidupku, serta alam sekitar yang menyegarkan perjalanan ini. Tulisanku mencoba menangkap kenangan agar mereka tidak menguap begitu saja. Aku menulis sebelum kenangan jatuh dari ingatan. Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak kan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang."
"ibuk, " (dengan tanda koma dibelakangnya) 

Membaca memang erat kaitannya dengan menulis. Tulisanku tak begitu bagus, tapi aku pernah membaca, tulislah apa yang ada dipikiran sebelum ide itu menguap tak perlu khawatir bagaimana hasilnya, toh tulisan itu bisa diperbaiki dengan membacanya berkali-kali.
Sebenarnya, membaca dan menulis itu bisa dikaitkan dengan pribadi seseorang lho, lihat genre dan hasil tulisannya aja bisa digarisbawahi karakternya. But, some people dont even realize.
Bagiku, menulis, membaca adalah sebuah katarsis. Apalagi dengan alunan musik yang menemani. Just love what we do, and do what we love. :)

Jumat, 21 Juni 2013

Critical, Nasionalis, or something-called-sok-tau?

0 commentfootprint
Agak aneh sebenarnya percakapan dengan temanku kali ini, biasanya kami tidak pernah beradu tentang beginian. Tapi tergelitik juga untuk berkomentar dan berargumen, ditanyai bagaimana pendapat saya jika BBM naik. Agak menyentil sebenarnya, sebagai seorang mahasiswa ekonomi. Haha. Pada titik akhirnya, saya sedikit tergugah, memang sebenarnya masalah Indonesia itu adalah mental dari dulu. Seperti yang sering saya lihat dari tweet2nya @sudjiwotedjo , orang kita itu bermental "minder" sejak dulu. Meski sudah merdeka.

Percakapan ini dikutip dari sumber aslinya, di kotak percakapan sebelah kanan ada saya, dan yang kiri adalah teman saya. Tak ayal lagi, karena mungkin isu ini sedang mengembang-desa akhir-akhir ini. Gak di kos, di kampus. Iya, kenaikan BBM. Menurutmu gimana?


Selasa, 18 Juni 2013

Deru dalam Debu

1 commentfootprint
Tidak baik ternyata, menyimpan memori yang sudah kadaluarsa. Hanya kadaluarsa sendiri merujuk ketika sesuatu barang tidak baik dikonsumsi pada masa tenggangnya. Seperti memori dimana objek yang otak konsumsi sudah tidak berada pada ambang nyata. Lama-lama hanya halusinasi dan sebuah khayalan "seandainya, jika ,,," atau "seandainya waktu berputar kembali, aku akan ,,," atau juga "seandainya kamu ada disini,,,"

Seharusnya hari ini, magelang masi menjadi tempat yang nyaman untuk singgah. Tapi entah sejak beberapa hari lalu, ketika kamu tiba-tiba datang, tepat di hari ulang tahunku. Sebelumnya, aku merasa baik-baik saja. Aku bisa melaluinya. Entah, aku tak bisa untuk berkata tidak di hadapanmu. Sewaktu mata berpaut segalanya berubah menjadi baik-baik saja. Rasa sakit hati, kecewa, amarah, menjadi hanya deru dalam debu. Kemudian hempas tak bersisa. Yang ada hanya dentingan kata a-k-u-r-i-n-d-u-p-a-d-a-m-u.

Aku merasa magelang tak aman. Tak aman untuk hatiku beberapa hari ini. Mengingatmu akan meninggalkan kota ini, selalu saja ada sesak yang menghujam kemudian kebas air mata. Entah, aku tak mengerti. Aku belum pernah merasakan seikatan batin ini pada seseorang. Seseorang asing, yang dulu bahkan aku tak pernah menyangka bisa mengenalmu. Skenario Tuhan memang luar biasa.

Kadang meghindar memang jalan alternatif yang terbaik. Bukan tidak menghadapi kenyataan, hanya saja meredam ego untuk tak selalu berkata "aku baik-baik saja". Hari ini aku pergi ke Solo. Tak seperti biasanya aku tak bernafsu mengejar angin. Biarlah angin yang mengurai benakku, tak perlu aku memaksakan diri.
Pernah berpikir tidak berapa juta kata-kata orang yang bisa dituliskan ketika mereka berada di jalan? Mungkin jika ada gelembung udara yang mewakili mulut tuk bicara, awan sudah terpolusi kata. Ada banyak kata yang terpikirkan daripada terucap ketika kita berada di jalanan. Mengendarai.
Seperti aku. Tak henti-hentinya aku merapalkan ayat kursi. Setidaknya itu senjata terakhirku untuk tidak terus-terusan memikirkanmu.
Selalu.
Rasanya begitu gamang. Begitu mamang.
Sampai aku singgah di sebuah masjid. Masjid bercat hijau yang beberapa kali kusinggahi, jika dalam perjalanan solo-magelang. Letaknya sekitar 1jam.an dari pusat kota Solo.
Kutunaikan 4rakaat dhuha. Aku jadi teringat. Setiap kulakukan sunah, aku seperti makan lauk pauk. Teringat kata ibukku "Ibarat makanan, sholat lima waktu adalah makanan pokok seperti nasi, dan sunahnya adalah lauk pauk, jika sholat lima waktu saja tak kau tunaikan, berati jiwamu kelaparan. Jiwa kelaparan itu penuh maksiat. Dan jika hanya kau tunaikan sholat lima waktu, berati sama saja kau hanya makan nasi tanpa lauk. Garing. Hambar. Ora enak. "
Tersadar karena tak selalu bisa qiyamulail, sunah yang bisa kulakukan saat ini hanya melalui waktu matahari setinggi tonggak.
Menjamahi rumahMu sendirian, seperti aku berada dalam lapangan berkilo-kilo meter lebarnya dan aku hanya titik di tengahnya. Sendiri. Sepi. Sungguh. Rasanya kebas air mata. Kuucapkan mohon ampun terus-menerus. Teringat orang-orang yang kusayangi satu-per satu. Apa yang bisa kuberikan terbaik untuk mereka.
Aku mencintai mereka. Setulus daun yang jatuh ke tanah tanpa bertanya kenapa angin memisahkan dari rantingnya.
Aku punya teman, Lerry namanya. Setulus aku menyayangi tanpa mulutku beresonansi di hadapannya. Dari laku.ku sudah terlihat. Kemana pun ia pergi aku antar, dari mana saja dia tiba aku jemput, sampai selalu bertanya apakah dia sudah makan atau belum. Tak pernah tega aku membiarkannya. Bukan, bukan berarti aku disorientasi gender. Hanya saja, ketika aku sudah menyayangi seseorang, aku berusaha loyal.

Seperti loyal kepadamu. Sejatuhnya berkali-kali, selalu saja ada hal yang membuatku kembali. Sebenarnya ketika kita merasa "homy" pada seseorang, orang tersebut layak diperjuangkan. Dimanapun kita berada, kita merasa seperti "pulang ke rumah" kalau deket-deket dia. Nah. Pernah ngerasain? Itu yang aku rasain. Kamu begitu jugakah? Atau kamu merasa kita hanya tetanggaan? Hahaha

Bulan depan, kamu sudah lulus. Tak ada alasan lain untuk tinggal lebih lama di Magelang. Tetapi sudah dari sekarang rasanya aku kehilangan. Magelang kehilangan. Iya, benar, disini rasanya ada yang tercerabuti satu-per-satu.
Bakalan tak ada alasan lagi ketika aku lewat gerbang ksatrian itu berkata "kamu sedang apa di dalam? sudah makan belum? tidurnya nyenyak gak? capek ya kegiatan seharian?" entah, itu seperti pertanyaan retoris yang selalu aku rapalkan dalam hati melihatmu dari luar tembok kstarian.

Ah, aku rindu kamu yang dulu. Masih samakah kamu?

"Hai selamat bertemu lagi
Aku sudah lama menghindarimu
Sialku lah kau ada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernafas lagi
Tegak berdiri di depanmu kini
Sakitnya menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati
Dan upayaku tahu diri tak selamanya berhasil
Pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah, menghilang sajalah lagi
Bye selamat berpisah lagi
Meski masih ingin memandangimu
Lebih baik kau tiada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Menghentikan segala khayalan gila
Jika kau ada dan ku cuma bisa
Meradang menjadi yang di sisimu
Membenci nasibku yang tak berubah
Dan upayaku tahu diri tak selamanya berhasil
Pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah, menghilang sajalah lagi
Berkali-kali kau berkata kau cinta tapi tak bisa
Berkali-kali ku telah berjanji menyerah
Dan upaya ku tahu diri tak selamanya berhasil
Pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah, menghilang sajalah
Pergilah, menghilang sajalah lagi"

Hatiku menderu dalam debu.

Senin, 03 Juni 2013

Dari Enam jadi Lima

0 commentfootprint
Sudah jelas sekarang?
Tak lagi abu-abukah?
Tapi kulihat hatimu masih menyimpan merah jambu, nona.
Iya, merah jambu yang tak lama lagi akan membusuk, dan memudar tak berbekas.
Kamu tahu?
Aku pikir kamu tidak akan pernah tahu, kalau pun tahu tidak akan mengubah segalanya kan sekarang? Aku hanya mengutip katamu.
Iya, kamu tidak pernah tahu, kalau kamulah yang selalu aku gosipkan dengan Tuhanku.
Merasa getarkah hatimu disaat-saat lima waktu? Kalau iya, radar neptunus masih bekerja, kalau tidak, sepertinya memang kamulah yang memantrai diri dengan Expecto Patronum. Bahkan aku bukanlah dementormu.
Dari Enam jadi Lima.
Sepertinya mulai sekarang aku harus membiasakannya.
Tak lagi menyebutmu dalam Enam Daftar Al-Fatikhahku.
Aku, yang pertama.
Ibukku, selalu yang kedua.
Abahku, selanjutnya.
Kakak perempuanku, kemudian.
Kakak laki-lakiku, harus.
(almh) Adek perempuanku, yang selalu kuraba-raba dalam mimpi bagaimana wajahnya yang mungkin sekarang berumur belasan tahun.
Lalu, Adek laki-lakiku, yang kuharapkan kelak menjagaku.
Dan terakhir, kamu, yang kuharap memang menjadi terakhir.
Itu dulu.
Iya, sepertinya mulai sekarang Daftarku jadi Lima.
Pahit memang.
Tak lagi menggosipkanmu dengan Tuhan, tak lagi mengirim puisi-puisi cinta yang hanya aku dan Tuhanku yang tahu.
Semoga, akan ada yang mengisi Daftar ke Enamku, kelak. Entah siapa. Wallahualam.
 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template