Kamis, 11 November 2010

Berjalan pada Titian Detik

Aku melangkah, menantang matahari yang bersinar tak terlalu terik. aku berjalan beralaskan jerami yang kususun dengan bulir keringatku. kutenteng tas plastik kresekku yang aku anyam dari berbagai bungkus mie instan, kopi, sereal, atau apalah itu. Sebentar, perlunya ku mengaca. kurapihkan baju percaku, yang aku kumpulkan dari limbah penjahit tetanggaku. Kujahit dengan penuh deru debu semangat. Rokku pun dari gordyn tetangga yang diberikan kepadaku,yang aku sulap menjadi dress berlipat yang manis.
sudah. aku cukup keren.
Aku berjalan gagah, bangga.
Tidakkah kau lihat para designer yang berjalan dengan para modelnya ketika hasil rancangannya dipamerkan kepada ribuan pasang mata?
Ya begitulah perasaanku.
Aku bangga karena apa yang kukenakan made in tangan ku sendiri.
Aku tahu aku hanya sekedar jamban berjalan bagi mereka yang berotak mikroba parasit.
Bilang saja aku out of date, bilang saja aku makhluk prasejarah, manusia goa atau manusia batu sekalipun.
peduli apa mereka?
Cuih, kuludahkan segumpal umpatan yang ingin kuteriakkan , kucacikan pada wajah mereka yang tersumpal plastik silikon.
Lega, lebih baik simpan saja energiku ketimbang mempedulikan apakah pipi mereka itu disumpal, atau alis mereka dicoreng moreng arang.
Sekarang, peduli apa aku?
hahaha, puas ku tertawa.
aku berjalan menapaki titian detik yang tuhan anugerahkan kepadaku, kadang aku melompat, ada lubang menganga di sana, seperti luka yang sewaktu
pernah tertato 'di sini' menggerogoti jalan hatiku. ingin sekali kututup, tapi entah harus kugunakan material apa di dunia ini yang yang sanggup menambalnya
, kadang aku berjalan melambat, memperhatikan kekontrasan tangan yang menengadah dan tangan yang mengulur terkadang tangan itu sombong melempar.
kenapa tuhan tak ciptakan banyak tangan2 yang mengulur memberi, tapi kalo begitu tangan siapa yang akan menengadah? hahaha aku menertawai kebodohanku sendiri.
sewaktu waktu aku berhenti, menatap langit kurengkuh matahari, tersenyum lebar. melihat awan berarak membentuk segurat wajah halus yang membuatku tenang
bahwa kan ada orang di sampingku yang kan mengisi ruang kosong diantara sela sela jari-jariku. aku menghembus lega, mengucap syukur.
aku terus menapaki detik, aku berdecit tiba2, ku melihat segerombolan gagak pongah hitam kelam yang memperebutkan sekerat roti.
aku hanya heran mereka memakai jas2 mahal untuk menutupi koreng-koreng busuk yang tak aus di bulu2nya. miris, aku menelan ludah.
ku lanjutkan perjalanan, kini ku melewati sederetan toko dengan etalasenya yang aku yakin 1000% memikat hati para kaum hedonishoppaholic.
lihat saja jumbo SALE. Apa yang mereka pikirkan sewaktu mereka membeli barang2 tersebut? tergiur hargakah? atau memang kebutuhan?
Yang bahkan kadang sesampainya di rumah barang tersebut hanya akan menjadi seonggok sesarang debu. Berjajar mereka memamerkan lutut yang seputih susu, bergaya aristokrat, bak putri atau pangeran . Kulirik bayanganku sekilas di kaca etalase. Memang upik abu. Aku kaum marjinal.
Ku pejamkan mata. Sejenak kusadari aku hidup di dunia yang salah. Kemana dunia yang harus kulangkahi? perlukah ku menyayat urat nadiku terlebih dahulu untuk merasakan dunia yang lain?
dunia di pojok pelangi itu.
kau lihat? dengar? rasakan?
oh tidak?
Beruntungnya aku, sehabis hujan kulihat lengkungan berjuta spektrum warna berhamburan menyembul di sudut mataku, ku lihat di pojok pelangi itu . Ada semacam puri atau istana seperti yang pernah didongengkan oleh tukang dongeng di kampungku sewaktu kecil.
disanakah seharusnya duniaku?
bawa aku pergi, biarpun kan kupertaruhkan seurat nadiku untuk kupersembahkan untukMu.

1 commentfootprint:

Unknown mengatakan...

Whew..abstraknya kelihatan..errr..lumayan ngena sih..tapi ada beberapa hal yang g aku ngerti..
Semoga bahagia selalu menyertaimu ^.^

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template