Sabtu, 14 Mei 2011

Its a Long Journey

Bukan keinginan kita dilahirkan dari rahim seorang ibu yang mana, dibesarkan di keluarga seperti apa, atau menjalani kehidupan yang bagaimana. Bukan keinginan kita. Sama sekali.
Jika sedari kandungan diberitau pun , sepertinya akan ada negosiasi antara saya dan Tuhan, eh? boleh?
Bukannya saya menyeseli kenapa, apa dan bagaimana bisa terjadi.
                                                                         

Kemaren, saya diberitau via telp kalo ibu sedang sakit. Kontras sekali, padahal saya sedang melepas penat dengan maen2 bersama teman2. Luruh, seketika saya merasa sangat berdosa. Tak tertahankan lagi. Entah kenapa saya gampang trenyuh kalo menyangkut "ibu". Sungguh. Mendengar namanya saja membuat ku gemuruh. Ibuku bukan ibu yang sempurna. Tetapi beliaulah motivasi terbesar dalam menjalani hidup ini. Tidak lebay.
Dilahirkan dari seorang ibu yang berasal dari desa di bawah kaki gunung. Tak membuatku harus minder dengan stereotip "ndeso". Bangga malah. Bukannya sekarang atmosfer desa malah diburu? Dibesarkan dari keluarga yang biasa saja, tak lebih dan tak kurang. Saya merasa cukup. Dari sini saya mengenal apa itu "memperjuangkan hidup, bertahan, dan terseok". Hidup kami tak mudah. Selama hampir dua puluh tahun, saya merasakan bagaimana perjuangan mereka untuk tetap menyambung hidup, mempertahankan hidup yang lain, agar tak tergerus. Orang tua. Saya merasa sangat berhutang budi. Bukan ini yang kumaksud, memang tugas mereka yang merawat dan membesarkan. Itu sudah suratan. Tapi terlebih karena , mereka sangat berjasa, berarti dan menggerakkan hati ini menjadi lebih termotivasi untuk struggling. Sayang mereka.
Keluargaku bukan tipe keluarga yang mudah mengutarakan afeksi dalam bentuk kata. Tapi saya tahu, dari jitakan, teriakan, perintah2, tersembunyi khawatir yang mendalam kehilangan serpihan nyawa yang dititipkan. Horcrux. Mereka seperti menanamkan benih2 horcrux ke dalam anak-anaknya.
Terkadang memang tak sepaham. Yang satu ingin begini, yang satu ingin begitu, dan ujung2nya anak2nya yang jadi korban. Pernah suatu ketika aku merasa jenuh. Ada apa dengan semua ini? Kenapa ada yang harus berbelok arah? Dan menjadikan semua menjadi bengkok tak beraturan, berkaratttt, meski hanya terkena sedikit cawan air keras. Semua hancurrr, dan aku pun mulai runtuh kepercayaan. Ini bukan suatu "pohon" yang sempurna lagi. Disisi belakangnya terkerat cendawan hitam. Jika boleh memilih aku ingin menjadi bagian "pohon" yang lain.
Tidak. Saya tak boleh menyerah. Biarlah cendawan itu menggerogoti bagian yang lain. Saya masih tetap disini , berjuang untuk tetap membuatmu "hijau", menghasilkan buah yang ranum, untuk kau petik di masa tuamu. Karena saya sudah merasa saya berhutang budi padamu, ibu.
Tolong, tetaplah bertahan sampai buah itu kau petik. Tak ingin ku memberimu cendawan hitam lagi. Karena saya tahu, itu kan hanya membuatmu terluka lagi. Aku sayang kamu, ibu.
Saya tahu, sejak kecil kau tak pernah memanjakanku dengan limpahan materi. Cukup, bagiku cukup dengan kesabaranmu menungguku saat TK dulu, mengantarkanku mendaftar sekolah dasar, menguatkanku ketika aku tak masuk SMP favorit, mendukungku untuk berprestasi di SMA, dan berjalan tertatih untuk membiayaiku masuk kuliah. Itu lebih dari cukup. Keberadaanmu menguatkanku. Sungguh sebenarnya saya malu untuk menuntut ini itu. Dengan usiamu yang rentan, aku tak ingin membebani lagi. Sungguh, hanya ada satu tekad yaitu aku ingin membahagiakanmu. Ibu.

1 commentfootprint:

dimasraf mengatakan...

ecie...semangat yaa

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template