Jumat, 07 Oktober 2011

.... the Dew Dawn

Pagi dini hari yang biasa terjadi. Sebuah repetisi aktiviti yang ingin saya atur dalam mindset tuk menimbulkan pola keteraturan yang membuat saya biasa melakukannya. Bertemu denganMu wahai Tuhan Pemilik Pagi. 
Terlepas dari segala sesuatu yang disebut itu sunah, saya memang bertendensi menyukai atmosphere dini hari dimana angin kadang membelai tirai, menyibaknya dengan kasar, atau hanya semilir menempati volume ruang yang ada. Suara jangkrik yang bernyanyi fals mengkerik, bermunajat pada Empunya raga, dan suara kereta lewat yang semakin membuatnya syahdu. Kau dengar, itu kereta jaraknya belasan kilo dari tempat ku berdiam, rasanya seperti angin yang berperan menyampaikan pesan dini hari, menyampaikan pada dunia bahwa Tuhan Tak Pernah Tidur. Seraya berkata, "temuilah Tuhanmu, ketika aku bersemilir tenang menyampaikan pesan alam". Syahdu.
Sepi. Waktu. Aku. Dan sendiri. Sempurna.
Kadang jika aku tak sanggup menahan hawa syahdu ini, biarlah air dari ujung pelupuk menetes. Menggenangi bukitan pipi yang menyembul seperti bakpao ini. Ah....
Merongrong rongga hitam yang bertumpukan dosa. Menelusupkan sebuah syair doa, untuk membuatnya menjadi rongga yang bercahaya. Ini dosa sudah berkarat.
Seberapa besarkah perlu arus air tuk mebuatnya bersih kembali? Atau campur saja dengan zat chemist tuk membuatnya seperti rongga seorang bayi yang baru lahir?
Oke, Nafs saya terlalu liar berkelana di ruang hampa yang kusebut itu mimpi. Tapi tak semua nafs, saya realisasikan dalam sebuah fuadha, dan menyimpannya dalam kotak yang disebut Sudur. Ada keinginan yang saya belenggu tuk tak dimuntahkan sekedar menunggu waktu yang tepat, ada keinginan yang ingin saya jejalkan tuk terealisasi, ada keinginan yang memang saya sengaja penjara agar saya tak dibenci oleh Dzat Pemilik Ruh ini.
Sadar begitu sesadar-sadarnya, tak mungkin ada benda tercipta dengan sendirinya. Biarlah mereka yang tak paham terus menggonggong, meneriakkan kata2 pekak tuk menulikan, membutakan dan mematikan jiwa terhadap keberadaan Tuhanku. Aku tak peduli. Semasa masih ada selongsong nyawa, berbekal sebuah batu pun kan kubela apa yang kuyakini. Karena hampir 20 tahun, aku hidup dari sebuah hembusan rahmat yang ditiupkan oleh Dzat Maha Mengetahui dan maha tak kutahui.

Dosa sebuah collateral damage dari ke-papa-an a-k-u.


04.27 WIB

0 commentfootprint:

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template