Jumat, 28 Oktober 2011

Ibuku, Seorang Buruh Negara

Ada setitik kebahagiaan yang terpancar dari orang-orang yang kutemui tadi siang di antara gundukan sampah yang menggunung, dibalik rerimbunan plastik kotor campur bau menyengat yang tak hilang-hilang terperangkap di bulu hidungku. Ah, tak apa. :) 
Hari ini adalah hari ulang tahun temanku, Sheilla Monica Kuncoro Putri. Selamat ulang tahun teman :). Semoga senyum orang-orang yang kau beri sedikit ganjalan perut tadi menghantarkanmu sebagai amal, penyelamat hidupmu kelak setelah hidup dari kehidupan ini. Kami berdua berkeliling Solo tadi siang, untung matahari sedang bersahabat tak menampakkan kesombongan ultravioletnya kepada kami. Menyusuri jalan sempal alias aspal item palsu, lha wong pembangunannya memakan banyak biaya tak berbanding lurus dengan hasil yang diekspetasikan. Paling 2-3 tahun itu jalan sudah berlobang, digerogoti dosa para pengambil hak orang. Dari satu TPA ke TPA yang lain, mencari sosok-sosok para pengais sisa-sisa rejeki tuk sekedar menyambung hidupnya. Dari guratan-guratan mereka, terlihat jelas, bahwa sudah berpuluh tahun mereka mencoba menakhlukan bahtera kehidupan yang tak kunjung berlabuh di pemberhentian secercah kenyamanan hidup. Aku miris. Bagaimana mereka tahan bergumul sepanjang waktu dalam tumpukan belatung yang menjadi kawan, berparfum aroma cendawan bahkan berbau busuk sekalipun. Aku senang meskipun hanya mengantar temanku membagikan sekotak pengganjal perut yang mungkin lumayan bagi mereka bertahan beberapa jam kemudian. Orang-orang itu mengingatkanku pada seseorang yang sangat berarti, yang memperjuangkan hidup orang lain meskipun kehidupannya sendiri terbengkalai tak karuan, IBU.
***
Beliau yang merangkak dari tempat peraduan hanya tuk sekedar mengambil air tuk mensucikan batin di tengah lelapnya kota. Di tengah gurauan nyamuk yang berdendang, pesta pora darah segar. Di antara wajah-wajah buah hatinya yang masih bermimpi indah entah kemana. Bermunajat, mengadu kepada Sang Pemilik Dini Hari, berharap atas kebaikan di dunia dan akhirat, terlebih untuk gumpalan daging yang pernah ia kandung. Itu dilakukannya setiap hari. Bagi beliau sepertiga malam adalah waktu yang tepat untuk curhat, merapalkan sejumlah doa yang menjadi pengharapan yang kelak akan ia panen pada waktunya tiba. 
Sesekali aku dengar, beliau menangis. Aku hanya terdiam tak mampu membuka mulut meski mata ini sudah terbuka lebar-lebar. Mendengar lantunan ayatNya, membuatku semakin tergugu, ibuku wanita hebat. 
Sedini hari beliau bangun, menuntaskan kewajibannya, dan berlari pontangpanting menyiapkan segala keperluan perut kami. Ibuku bukan ibu rumah tangga biasa, yang setiap saat bisa melayani segala keperluan suami dan anak-anaknya sepenuhnya. Ibuku, buruh negara. Beliau, ketika matahari bersinar malu-malu, berangkat menuju ladang amalnya yang berjarak puluhan kilometer, melewati jalan yang tak beraspal, dimana kotoran kerbau pembajak menjadi pemandangan yang sangat biasa. Sebuah sekolah setaraf sekolah dasar menjadi sebuah penghiburan sekaligus penyemangatnya untuk menyambung hidup. Ibuku bukan seorang pegawai, untuk itulah aku sebut sebagai buruh. Beliau mengajar tanpa bertengger NIP di bawah namanya dalam raport kelas 6 itu. Ya, ibuku seorang pengajar yang tak digaji sesuai dengan ketetapan pemerintah. Itu sudah berlangsung belasan tahun. Bukannya tak pernah ibuku mengajukan surat kedinasannya kepada birokrasi yang mengaku mengayomi masyarakat itu, puluhan kali bahkan, ah aku tak terlalu paham apa yang tersembunyi dibalik jas-jas mereka yang menggelembung menutupi buncitnya perut mereka. Meskipun begitu, aku kadang terhenyak, malu sendiri, murid-muridnya sangat menyayanginya, setiap beliau ulang tahun ada saja yang mereka beri kepada ibuku, bahkan aku sendiri kadang lupa kapan ulang tahunnya. Sungguh memalukan. =.=" Setiap lebaran, mereka anak-anak desa seperti turun ke kota, jauh-jauh ke gubug tua kami (gubug kami memang benar-benar tua, umurnya melebihi gabungan umur penghuninya) tuk sekedar mencium punggung tangan ibuku, merapalkan sedaya lepat nyuwun pangapunten-nya. Ah so sweet. :') Ibuku, banyak yang menyayanginya.
Mungkin dari sosok beliaulah kutemukan  "guru pahlawan tanpa tanda jasa". 
Ibuku memang tak sempurna, bahkan jauh dari kesempurnaan, ya tak semua permintaan kami beliau turuti, baiklah perlunya kami memahami keadaaan. Harus malah. Kadang kata sindirannya sangat mengena, kenyinyirannya membuatku limbung, tapi sedikit kasih sayangnya meluruhkan segala amarahku. Memang tak selamanya aku sejalan dengan beliau, ada sedikit jurang jika kami berbeda pendapat atas perspektif tertentu. Tapi, kepada beliaulah semua penghujung pengharapan-pengharapan yang kulantunkan. Kutulis rangkaian doa di langit biru sana dan aku frame dengan sebuah pelangi yang melingkari hanya untukmu seorang, IBU. Ketauhilah, anakmu ini sedang berjuang untukmu. :') :* 
Maav jika aku belum menjadi anak yang bisa menuruti semua perkataanmu
Maav jika kadang perkataanmu sering aku abaikan
Maav jika aku lebih banyak mengecewakan daripada membanggakan
Maav, aku malu tuk terus meminta
Maav jika aku tak pandai mengungkapkan afeksiku
Maav, jika aku tak mampu menghapus air matamu
Maav jika aku sering mengeluh tanpa memikirkan perasaanmu
Maav jika aku terus menangis, sampai detik ini belum ada yang bisa aku persembahkan untukmu
Maav aku bukan anak yang berbakti.
meskipun byk org bilang aku replika remajamu, tp kubilang engkau lebih lebih cantik waktu muda dulu :')
Ibu, sampai kapanpun aku tak pernah sanggup melihatmu tak ada lagi disisiku. Kau tahu? Aku begitu menyayangimu. :'(

0 commentfootprint:

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template