Rabu, 26 Oktober 2011

What the value is?

Ada yang menganggap nilai itu adalah suatu apresiasi dari kerja keras, usaha yang kita lakukan, yang lain bilang nilai merupakan syarat dari lulusnya suatu akademika yang memang harus ditempuh untuk mencapai batas standar tertentu. Tapi aku bilang, nilai adalah suatu formalitas yang tidak sengaja sudah tertanam kuat di pikiran seseorang sejak ia mengenyam bangku sekolah yang pada intinya membuat ruang gerak berpikir seorang itu dibatasi oleh adanya angka-angka yang harus dipenuhi kolom-kolomnya dalam sebuah jurnal yang disebut raport. 
Entah kenapa sejak dari dulu aku tak suka dengan konsep pendidikan di negeri ini. Dimana nilai diagung-agungkan menjadi prasyarat dalam civil academic tertentu. Tak menutup kenyataan sih, dalam dunia realita , akumulasi nilai menjadi basic berkompetensi atau tidaknya seseorang. Tapi itu kan cuma angka, yang bisa dimanipulasi hanya dengan sebuah goresan tinta hitam yang membuatnya menjadi legal, selegal rokok yang beredar meskipun ada himbauan peringatannya. Aneh memang negeri ini.
Sejak keluarnya film Three Idiots , saya jadi berpikir ulang mengenai konsep pendidikan yang selama ini saya tempuh. Ternyata memang nilai sempurna menjadi suatu konsep pikiran yang bertendensi menuhankan. Apapun dilakukan untuk sekedar membuat orang lain atau orang tua menyenangi apa yang kita peroleh. Untuk itu muncul tindakan mencontek atau plagiarisme. Menghalalkan segala cara, bagaimana mendapatkan nilai sempurna.
Gimana sih kalo kita mendalami sesuatu tanpa harus mengejar target yang disebut nilai itu? Sistem sekolah yang di Three Idiots itu bisa lho menjadi suatu contoh bahwa kreativitas otak manusia tak harus dibayang-bayangi dengan nilai yang jelek atau berapakah standard nilai yang harus ditempuh, dan bla bla bla. Terlebih lagi sejak kecil kita dicekoki oleh banyak hal yang menuntut kita harus mengetahui semua pelajaran yang disuguhkan oleh guru kita. Bukankah itu membuat kita tidak fokus ya? Saya memang masih terlalu cetek dalam memahami sistem di negeri ini atau negara asing. Cuma yang saya tahui, di negara asing itu sistem pendidikannya ya kayak moving class, murid mendatangi guru yang mengajarkan pelajaran tertentu yang menjadi minat kita , konsentrasi apa yang kita pengen dalami. Jadi fokus gitulho. Murid yang membutuhkan guru, bukan guru yang membutuhkan murid. Hubungan semacam ini secara kondisional akan melahirkan suatu unggah-ungguh atau ngajeni kepada orang yang memberikan ilmu. Kalau hubungan semacam ini sudah tertanam, gak ada namanya bullying in the class, karena faktor muridnya yang gak sopan terhadap gurunyalah, atau muridnya gak mau diajarlah, atau guru merasa disepelekan lah, dan lainnya.
Saya memang orang yang paling anti kalau mendengar pengumuman nilai sejak dulu, entah itu pembagian raport, pengumuman lomba, apalagi membuka portal IPK yang sekali setiap semester diburu seantero mahasiswa itu. Gak tau, rasanya "ah ngapain sih?", padahal pada intinya saya takut dikecewakan oleh deretan angka-angka kecil berskala 4 itu yang ngomong aja gak bisa, tapi bisa membuat orang "ngomong(-ngomongin)". Yang membuat orang dilabeli si pintar dan si bodoh. Padahal menurut saya perjuangan kita selama mendalami ilmu itu tidak cukup sekedar ditransform ke dalam skala angka.
Banyak hal yang bisa dipelajari tanpa harus duduk diam di dalam kelas. Mendengar tutor mengajar, yang seperti mendongeng bagiku. Tetapi sayangnya, sejak dini kita sudah terlabeli menjadi "murid" dan segala tetek bengek yang melekat di dalamnya.
Entah sampai kapanpun nilai akan tetap menjadi suatu nilai, sesuatu yang "perlu" diperjuangkan dengan harga mahal sejak umur 6tahun.

"Langit begitu luas, kenapa tidak pikiranku? pikiranmu?"

0 commentfootprint:

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template