Rabu, 12 Oktober 2011

"Selamat malam Sayang,.,"

Lagi-lagi aku merasa terkhianati. Oleh oknum yang mengaku melayani masyarakat. Sang Raksasa Pengalir Energi. Kali ini listrik mati lagi, sodara, membuatku harus menelan mentah-mentah pemandangan kelam ruangan bervolume 4,5x2,5 petak ini. Sunyi, sial lagi jangkrik mengkerik menyanyikan ejekannya padaku. Terimakasih, dalam keterbatasan ini aku mengakui, aku makhluk tak berultrasonik seperti penala gema echolocation. Aku tersenyum hambar. Mencibir.
Kedua, aku merasa terkhianati oleh penyedia layanan komunikasi yang membuatku harus menjejalkan galau di hatiku sampai waktu ingin tidur menjelang. Sengaja ingin berlangganan, tapi malang, pulsa hangus tak guna jua, ingin kuteriakkan "daaaaaa***uuk!!!", tapi ah tuhan, untung saja mulutku masih beriman. Astaghfirullah, sekali lagi ku tersenyum hambar, dan sedikit menghela.
boni, bearly, dobby = anak2 bantalku :D
Kuurungkan niatku bercengkerama dengan anak-anak bantalku, si Boni, Dobby dan Bearly, keluar sebentar tuk menyaksikan lampu alam yang berdiameter 3.474 km, menggantung sendirian di sana?
Kulihat bintang sedang enggan bersamamu? Awan mega berserak, sisa hujan tadi sore yang membasahi bumi kemarau pertama kali di tanah batik ini. Ku sempat bersorak kegirangan tadi, sewaktu beranjak senja, bulir-bulir partikel penyejuk dahaga mengalir dari istana di atas awan yang mungkin seperti seolah-olah Dewa Zeus yang sedang menangis.
Kembali kulirik bulan, masih saja dia pongah, karena masih saja energi belum mengalirkan cahayanya lewat kabel-kabel yang menjuntai terkoneksi dengan bola lampu pijar. Dia masi anteng. Gelap. Gulita. Tak berpendar.
Menikmati kesendirian membuatku bias, apakah memang sebuah keterasingan yang kubutuhkan. Keterasingan dari dunia yang menghantamku bertubi-tubi. Aku kangen. Mungkin yang kubutuhkan bukan kehampaan yang menerpa sisi-sisi sensitivitas manuasiawiku.
 I need a shoulder to hold on. Membuatmu salah paham tadi siang sedikit menyentil kekhawatiranku atas persepsimu terhadapku. ah, andai saja lorong waktu itu ada. Aku diam, mendengar Sudurku berbicara sendiri. Kenapa ya perasaan itu tidak bisa dilogika? Padahal mereka menempati bilik yang sama, bukankah di otak pusatnya?
"Renungan Kloset" itu memang sering menimbulkan pertanyaan yang tak ku mengerti dan sering kali berujung pada siraman air, sedetik kemudian mengabaikannya, menyimpan sebagai draft, suatu saat muncul kembali bersama draft-draft yang lain. Menumpuk menjadi satu, setelah aku lelah menemukan jawabannya, yang ku bisa hanya membuangnya bersama angin.
Krik. Krik. Krik. Dasar jangkrik! Masih saja dia menertawaiku. 
Sampai kapan aku berdiam di sini? 
Menunggu cahaya datang menghampiri, menyeruak sisi gelap malam, kegelapan yang membuatku bergidik.
Kamar-kamar sudah terkunci rapat-rapat, mungkin sang empunya terlalu lelah tuk menunggu.
***
Oh, Tuhaan, makhluk itu berpasukan, menghunuskan mulutnya bak jarum yang siap menyuntikkan air liur dan menyedot hemoglobin-hemoglobin di bawah lapisan epidermisku. Oke, masuk ke dalam petak mungkin lebih baik.
Kucoba memejamkan mata, sambil memeluk anak-anak bantalku. Mereka seperti kesepian. Ah, tenanglah, ada aku disini, mendekap penuh kehangatan sampai pagi kan menjelang. "Selamat malam, sayang".


11.10.11, 22.24 ditulis dalam cahaya remang dari  layar smartphone 106 gr.


0 commentfootprint:

 

A Walk to Remember Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template